Thursday, December 8, 2016

Tinjauan Sejarah Ilmu Dilalah

PENDAHULUAN

Bahasa sejak lama telah menjadi objek perhatian para pemikir, sebab bahasa adalah salah satu roda utama dalam kehidupan manusia semenjak diciptakannya, baik dalam berpikir maupun dalam berkomunikasi antar sesama manusia. Peranan bahasa tidak seorangpun akan memungkirinya. Dengan adanya bahasa sejarah tercatatkan dalam buku-buku. Bahkan kitab-kitab suci yang dianggap sakral bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya.

Namun, tidak ada yang luput dari berdebatan dan perselisihan terhadap sesuatu yang belum jelas secara pasti keberadaannya atau kelahirannya. Demikian halnya dengan bahasa, sejarah lahirnya pun menuai perdebatan. Banyak pendapat yang dilontarkan oleh para saintis sejarah dan bahasa mengenai kapan dan dari awal kemunculan bahasa di tengah manusia. Di antara sederetan pendapat itu, ada yang mengatakan:
“Keberadaan bahasa erat kaitannya dengan hubungan antara kata dan makna, sama halnya hubungan erat antara api dan asap.” 

Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara tata bahasa (gramatika) tradisional dan linguistik modern. Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang menjadi perbincangan sejak zaman klasik hingga abad modern.

Dengan demikian, dalam makalah ini penulis akan membahas lebih dalam tentang tinjauan sejarah ilmu ad-Dilalah yang dibagi menjadi dua periode yaitu:
1. Periode klasik
a. Masa Yunani Kuno
b. Masa Hindustan
c. Masa Ulama-ulama Arab dan Islam
2. Periode modern

TINJAUAN SEJARAH ILMU AD-DILALAH
Pada zaman Yunani para filusuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan hakikat bahasa. Para filusuf tersebut telah sepakat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa, apakah bahasa mirip realitas atau tidak, mereka belum sepakat. Dua filusuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.

Plato (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, penulis philosophical dialogues dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Ia adalah murid Socrates. 

Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik (dalam bahasa Yunani Πολιτεία atau Politeia, "negeri") yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan "ideal”. Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama. Salah satu perumpamaan Plato yang termasyhur adalah perumpaan tentang orang di gua. Cicero mengatakan Plato scribend est mortuus (Plato meninggal ketika sedang menulis). 

Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. 

Sejarah perkembangan ilmu Dilalah secara garis besar dibagi kepada dua masa, yaitu masa klasik dan masa modern.

A. MASA KLASIK
1. Masa Yunani Kuno
Polemik yang pernah dibahas oleh Plato dalam pembicaraannya dengan gurunya Socrates adalah hubungan antara kata dan makna. Menurut Plato ada perbedaan pendapat tentang apakah hubungan itu alami ataukah buatan menurut ‘urf yang berlaku. Aristoteles menjelaskan pendapat Plato berkaitan dengan bahasa dan fenomena-fenomena bahasa bahwa hubungan antara kata dan makna merupakan hubungan buatan atau ‘urf. 
Bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, maka tentu ada yang dilambangkan. Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep, ide atau pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide atau suatu pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.

Plato merupakan guru Aristoteles ia menyatakan bahwa bunyi-bunyi secara implisit juga mengandung makna-makna tertentu namun studi bahasa yang banyak digunakan pada masa itu hanya berkaitan dengan studi filsafat, masih sedikit yang membahas tataran bunyi, tataran gramatika, dan tataran makna bahkan bisa dikatakan belum ada. 
Sistem bahasa itu bisa berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Kata bunyi, sering sukar dibedakan dengan kata suara. Secara teknik, menurut Kridalaksana (1983: 27) bunyi adalah kesan dari pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan- perubahan dalam tekanan udara. Lalu yang dimaksud dengan bunyi pada bahasa atau yang termasuk lambang bahasa adalah bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Jadi, bunyi yang bukan dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi bahasa. Tetapi tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa, seperti teriak, bersin, batuk- batuk, dan sebagainya.
Semantik  atau makna telah digunakan oleh Aristoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada tahun 384-322 SM. Aristoteles adalah pemikir yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata. Menurut Aristoteles kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadirs dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatika. 

Aristoteles telah berbicara tentang perbedaan antara bunyi dan makna. Ia menyebutkan bahwa makna harus sesuai dengan ide yang ada dalam akal pikiran. Aristoteles membedakan menjadi tiga hal:
1. Segala sesuatu yang ada di alam luar,
2. Berbagai macam bentuk berupa makna-makna,
3. Bunyi-bunyi berupa simbol-simbol atau kata-kata

Perbedaan antara ide yang ada di luar dan yang ada di dalam pikiran yang mendasar, sebagian merupakan teori-teori makna yang dibicarakan di dunia barat sejak abad pertengahan. 

Masa Aristoteles merupakan periode awal dari sejarah ilmu ad-Dilalah dengan istilah semantic (Yunani: sema). Hubungan kata dan makna berupa ide atau segala sesuatu yang ada merupakan salah satu pembicaraan yang terpenting pada abad pertengahan. Karena kata dan makna memiliki hubungan yang sangat erat, seperti halnya api dan asap. Jika ada api, maka akan ada asap dan jika ada asap pertanda ada api.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa cikal bakal munculnya semantik (ilmu ad-Dilalah) adalah sejak masa Aristoteles, meskipun sebelumnya telah ada yang mengkaji makna untuk hal-hal tertentu. Namun hal itu lebih banyak mengarah kepada Filsafat yang berkembang pesat saat itu. Oleh sebab itulah John Lyons mengungkapkan bahwa makna itu penting bagi Filsafat dan Psikologi. 

2. Hindustan
Bahasa sejak lama telah menjadi objek perhatian para pemikir, sebab bahasa adalah salah satu roda utama dalam kehidupan manusia semenjak diciptakannya, baik dalam berpikir maupun dalam berkomunikasi antar sesama manusia. Peranan bahasa tidak seorangpun akan memungkirinya. Dengan adanya bahasa sejarah tercatatkan dalam buku-buku. Bahkan kitab-kitab suci yang dianggap sakral bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya. Orang-orang Hindustan sebagai contoh, mereka memiliki kitab suci Weda yang tidak lain merupakan sumber studi bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari sinilah sejarah permulaan bahasa dianggap sebagai mata pelajaran dan studi.

Orang-orang Hindustan mencurahkan perhatian mereka kepada pembahasan semantik dari para pemikir Yunani. Mereka mengkaji pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan pemahaman yang alami tentang kata dan kalimat. Bahkan mereka mengkaji sebagian besar problematika yang diungkapkan dalam linguistik modern dari pembahasan-pembahasan semantik. Di antara tema-tema yang mereka bicarakan ialah:
a. Perkembangan bahasa
Tema yang berkaitan dengan perkembangan bahasa atau cara pemerolehan sebagian bunyi untuk berbagai makna merupakan permasalahan yang pertama kali menjadi sorotan ahli semantik.

b. Hubungan antara kata dan makna
Tema ini menjadi sasaran perhatian orang-orang Hindustan sebelum orang-orang Yunani. Ada beberapa pendapat mereka seputar tema ini, di antara mereka ada yang menerima ide tabayyun antara kata dan makna. Ada juga yang menjelaskan hubungan antara kata dan makna dengan hubungan yang klasik dan alami. Di antara mereka ada yang mengatakan, dengan adanya hubungan yang penting antara kata dan makna seperti hubungan yang harus ada antara api dan asap.

c. Jenis-jenis makna untuk suatu kata
Orang-orang Hindustan mempelajari susunan yang berbeda untuk sesuatu yang membentuk makna kata. Ahli sintax Hindustan menjelaskan dengan adanya empat macam ¬ad-Dilalah secara berurut, yaitu:
1) Dilalah kata yang bermakna umum, seperti: lelaki,
2) Dilalah kata yang bermakna bentuk, seperti: tinggi,
3) Dilalah kata yang bermakna peristiwa atau perbuatan, seperti: datang,
4) Dilalah kata yang bermakna diri atau proses, seperti: Muhammad. 

d. Masalah-masalah yang berbeda
Orang Hindustan menunjukkan banyak hal yang masih dikenal dalam linguistik modern, misalnya:
1) Pentingnya konteks (siyaq) pembicaraan dalam menjelaskan makna
2) Adanya sinonim dan polisemi yang menjadi fenomena umum dalam berbagai bahasa.
3) Peran konteks (qiyas) dan kiasan (majaz) dalam perubahan makna. 
3. Ulama-ulama Arab dan Islam

Kajian makna kata-kata merupakan yang terpenting yang menjadi penarik perhatian ahli bahasa Arab dan mempengaruhi perhatian mereka. Berbagai kesibukan orang-orang Arab dalam mengkaji bahasa dari berbagai objek pembahasan semantik, di antaranya membuat daftar makna-makna ganjil yang terdapat dalam al-Quran, pembicara tentang kiasan (majaz) dalam al-Quran, sebuah karangan dengan judul al-Wujuh wa an-Nazha’ir dalam al-Quran, serta membuat kamus-kamus tematik dan kamus-kamus kata. Usaha lain yang sangat dikenal dalam kajian bahasa ialah peletakan dasar-dasar nahw. Hal ini karena terjadinya kesalahan makna dalam memahami ayat al-Quran akibat kesalahan kata yang diucapkan. Seperti kesalahan membaca ayat أن الله بريء من المشركين ورسوله dengan membaca kasrah pada akhir kata rasul.  

Di antara perhatian orang Arab terhadap kajian dilalah ialah:
a. Perhatian ulama bahasa
1) Ibnu Faris  dalam kamusnya “al-Maqayis” mencoba mengemukakan hubungan makna sebagian dengan makna umum.
2) Al-Zamakhsyari dalam kamusnya “Asas al-Balaghah” mencoba membedakan antara makna hakiki dengan makna majazi.
3) Ibnu Jinni  mencoba menghubungkan perubahan-perubahan materi dengan satu makna.
4) Banyak penelitian-penelitian yang memenuhi kitab-kitab, misalnya “al-Maqayis” milik Ibnu Faris, “al-Shahibi fi Fiqh al-Lughah” milik Ibnu Faris, “al-Khasha’ish” milik Ibnu Jinni, “al-Mazhar” milik as-Suyuthi, dan lainnya. 

b. Perhatian ulama Ushul, Mutakallimin, dan Filusuf Islam
1) Ulama Ushul telah menetapkan bab-bab khusus tentang Dilalah dalam kitab-kitab mereka. Misalnya, Dilalah al-Lafzhi, Dilalah al-Mantuq, Dilalah al-Mafhum, Taqsim al-Lafzh bi Hasb az-Zhuhur wa al-Khafa’, at-Taraduf, al-Isytirak, al-‘Umum wa al-Khasha’ish, dan at-Takhshish wa at-Taqyid. Pembahasan-pembahasan di sini kebanyakan berbicara tentang usaha ulama bahasa untuk ulama Ushul, misalnya penelitian tentang “hubungan ilmu Ushul dengan bahasa” oleh doctor Muhammad Fauzi Faidhullah dan penelitian tentang “Penelitian-penelitian bahasa dikembangkan oleh ulama ushul” oleh Prof. Muhammad Taqiyul Hakim.
2) Ditemukan berbagai macam studi dan isyarat yang mengkaji tentang makna dalam karya-karya al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm, al-Ghazali, al-Qadhi Abdul Jabbar, ahli Filsafat Mu’tazilah Mu’ammar, dan lainnya.
c. Perhatian ulama Balaghah yang memaparkan kajian tentang yang hakiki dan majazi. Dalam dua kajian ini banyak ditemukan ushlub, seperti ‘amar, nahy, dan istifham. 

B. MASA MODERN
Awal-awal abad ke 19 telah muncul kesibukan yang besar terhadap linguistic yang dilakukan oleh Adolf Noreen (1854 – 1925) yang melakukan penelitian dengan judul “Lughotuna”. Adolf mengkhususkan satu bagian besar dari penelitian tersebut satu kajian tentang makna yang digunakan dengan istilah Semology. Sebelumnya Nurain banyak menghasilkan teori-teori yang kemudian dikembangkan oleh para pemikir Eropa, Amerika, dan lainnya. 

Nurain membagi pembahasan makna kepada dua cabang:
1. Kajian deskriptif yakni mengkaji dengan model yang berbeda dari Swedia modern.
2. Kajian etimology tentang makna yang mengkaji tentang perkembangan makna dan sejarahnya.

Kajian Dilalah selanjutnya sebagaimana Kristoffer Nyrop mengkhususkan satu jilid yang sempurna dari kitabnya “Dirasah Tarikhi li Nahw al-Lughah al-Faransiyah”, ia mengkhususkan untuk perkembangan semantics (1913). Gustaf Stern (1913) mengembangkan kajian tentang makna dan perkembangannya.

Pada tahun 1825 seorang berkebangsaan Jerman, C. Chr. Reisig mengemukakan konsep baru tentang grammar yang meliputi tiga unsure utama, yaitu:
1. Semasiologi, ilmu tentang tanda,
2. Sintaksis study tentang kalimat,
3. Etimologi, studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna.

Pada masa ini, istilah semantic itu sendiri belum digunakan meskipun studi tentang semantik sudah dilakukan. Oleh karena itu, masa tersebut disebut oleh Ullman dengan masa pertama pertumbuhan yang diistilahkan dengan underground period. 
Max Muller menjelaskan secara lengkap terkait dengan ilmu ini dalam dua kitabnya yaitu the science of language (1826) dan the Science of Thought (1886). Max Muller mengatakan bahwa ucapan dan ide memiliki hubungan yang sangat kuat. 

Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan Prancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du Language.” Pada masa itu, meskipun Breal dengan jelas telah menyebutkan semantic sebagai bidang barui dalam keilmuan, dia seperti halnya Reiseig masih menyebut semantic sebagai ilmu yang murni-istoris. Dengan kata lain, studi semantic pada masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna dengan logika, psikologi, maupun sejumlah criteria lainnya. Karya klasik Breal dalam semantik pada akhir abad ke 19 itu adalah Essei de Semantique (1897).  Oleh karena itu, Breal dianggap sebagai orang pertama yang mengkaji makna secara ilmiah, modern, dan spesifik.

Istilah ‘semantik’ relatif baru asal mulanya, yang diciptakan pada akhir abad ke 19 dari verba Yunani yang berarti “menandakan”. Tentu saja ini tidak berarti bahwa para kademisi memalingkan perhatian mereka dari penyelidikan makna kata yang kurang dari seratus tahun yang lalu. Sebaliknya, sejak dulu hingga kini ahli-ahli tata bahasa tertarik terhadap makna kata-kata, dan sering sekali lebih tertarik pada apa itu makna kata-kata daripada fingsi sintaksnya. Manifestasi praktis ketertarikan ini terlihat pada tidak terhitungnya kamus-kamus yang telah dihasilkan sepanjang masa, tidak hanya di barat, tetapi juga di seluruh dunia yang di situ bahasa telah diselidiki. Seperti telah diketahui, kategori-kategori tata bahasa tradisional banyak ditentukan oleh cara-caranya menandakan yang khas. 

Istilah ilmu dilalah muncul belakangan setelah munculnya istilah semantik, yang ditulis pertama kali oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Perancis Breal dalam bukunya Essei de Semantique tahun 1897. Sebenarnya kajian tentang makna telah lama dilakukan oleh para ahli bahasa Arab, tetapi baru akhir abad 19 menjadi ilmu tersendiri, sebagaimana yang ada sekarang. 

Kajian semantic menjadi lebih terarah dan sistematis setelah tampilnya Ferdinand De Saussure dengan karyanya Course de Linguitique Generale (1916). Ia dijuluki sebagai bapak linguistic modern. Pada masa itu diperkenalkan dua pendekatan dalam studi bahasa, yaitu pendekatan sinkronis yang bersifat deskriptif dan pendekatan diakronis yang bersifat historis. Kajian De Saussure itu selain didasarkan pada analisis struktur bahasa juga berdasarkan analisis social, psikologis, dan pemikiran. 

Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan De Sausurre dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu adalah:
1. Linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang focus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sedangkan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis.
2. Bahasa merupakan suatu gestal atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen. Elemen yang satu dengan yang lain saling ketergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya. Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi akar paham linguistic structural. 

Tokoh yang secara sungguh-sungguh berusaha mengadaptasikan pendapat De Saussure itu dalam bidang semantic adalah Trier’s. salah satu teori professor berkebangsaan Jerman tersebut adalah teori medan makna. Dengan diadaptasikannya teori De Saussure dalam bidang semantic, maka dalam perkembangan berikutnya kajian semantic memiliki cirri sebagai berikut:
1. Meskipun semantik masih membahas masalah perubahan makna, pandangan yang bersifat historis sudah ditinggalkan karena kajian yang dilakukan bersifat deskriptif.
2. Struktur dalam kosa kata mendapat perhatian dalam kajian sehingga dalam kongres para linguis masih hangat dibicarakan tentang masalah “semantic struktural.” 

Setelah De Saussure, ada juga ilmuwan yang dianggap cukup memberikan corak, warna, dan arah baru balam kajian bahasa, yaitu Leonard Bloomfield. Dalam bukunya Language, ia dipengaruhi oleh alikran behaviorisme yang terdapat dalam psikologi, karena ia menganggap bahwa bahasa merupakan tingkah laku dan makna tidak lain daripada suatu kondisi yang di dalamnya orang mengungkapkan sebuah kata atau kalimat dan direspon oleh pendengar. Sehingga makna menurutnya adalah kondisi dan respon. Tokoh lain yang berjasa dalam perkembangan linguistic, khususnya semantic adalah Noam Chomsky , seorang tokoh aliran tata bahasa transformasi. Ia menyatakan bahwa makna merupakan unsure pokok dalam analisis bahasa.

Pada tahun 1923 muncul buku The Meaning of Meaning karya Ogden dan Richard yang mengkaji tentang teori tanda-tanda dan symbol. Sebagaimana dikemukakan dalam kitab tersebut ada 16 definisi tentang makna yang disebutkan hanya definisi-definisi yang terkemuka saja. Ogden dan Richard mengemukakan analisis tentang semantic yang membedakan antara fungsi referensial dan fungsi emosional dari kata-kata. 

Pikiran memiliki hubungan langsung dengan simbol (lambing). Lambing tidak memiliki hubungan yang arbitrer. Sehubungan dengan meaning, para pakar semantic biasa menentukan fakta bahwa asal kata meaning (nomina) dari to mean (verba), di dalamnya banyak mengandung ‘meaning’ yang berbeda-beda. Para ahli semantik sering tidak wajar memikirkan ‘the meaning of meaning’ yang diperlukan untuk pengantar studi semantic. Mereka sebenarnya cenderung menerangkan semantic dalam hubungannya dengan ilmu lain; para ahli sendiri masih memperdebatkan bahwa makna bahasa tidak dapat dimengerti atau tidak dapat dikembangkan kecuali dalam makna nonlinguistik.

Adapun Korzybski mencurahkan perhatiannya terhadap kondisi umum melalui yang terjadi dalam membenarkan komunikasi. Dia menentukan teori ilmiah dari bentuk kajian bahasa menjadi aktivitas komunikasi antar sesama manusia. 

Di USA ditetapkan terjadinya perbedaan karena dua sebab:
1. Awalnya semantik merupakan hasil karya ahli antropologi dan ahli psikologi yang kebanyakan darinya adalah hasil karya ahli bahasa. Objek kajiannya mencakup suatu materi tertentu dari materi yang leksikal. Mereka menemukan media untuk menganalisis bahasa yang tidak diperhatikan oleh ahli bahasa. Mereka juga menyampaikan kajian perbandingan terhadap objek kajian semantik seperti kata-kata yang memiliki kedekatan.
2. Adanya kecenderungan penjelasan yang dilakukan oleh Bloomfield dan diikuti oleh makna yang berlawanan. Menurut Bloomfield kajian makna merupakan fokus yang sangat lemah dalam kajian bahasa. Karena objek yang dibatasi dalam linguistik oleh materi yang mungkin untuk diamati, dilakukan percobaan, dan dianalogikan. Bloomfield mengungkapkan bahwa kajian tentang makna leksikal selanjutnya disebut dengan semantik secara faktual terletak di luar objek kajian linguistik. 

Bloomfield ketika mengatakan ‘bahwa problematika makna adalah titik fokus yang lemah dalam kajian bahasa,’ ia menunjukkan satu dari dua metode  yaitu tidak maksud untuk mengurangi bentuk umum dari kajian makna atau mengurangi kondisi yang diilusikan oleh sebagian orang. Bloomfield menunjukkan penggunaan makna tertentu dalam analisis bahasa. Sebagaimana ia menguatkan bahwa makna tidak mungkin tidak diketahui dalam konteks analisis bahasa yang berbeda. Beberapa bentuk teks yang dikutip oleh Bloomfield, yaitu:
1. Manusia merupakan sumber bunyi yang menghasilkan bentuk tertentu berupa stimulus dan didengarkan oleh temannya dan mereka menyampaikannya sebagai respon yang penuh. Dalam perkataan manusia terdapat bunyi-bunyi yang bermacam-macam yang mengandung makna yang berbeda. Kajian segala sesuatu yang saling berkaitan antara bunyi tertentu dengan makna tertentu merupakan kajian bahasa.
2. Kajian fonologi merupakan yang penting untuk diingat bahwa kajian ini menuntut pengetahuan tentang makna. Tanpa mengetahui hal ini tidak akan ditemukan karakteristik dari suatu kata.
3. Kutipan berikut merupakan pembicaraan sejarawan 29 Februari 1945 yang dikirim oleh Bloomfield pada akhir hidupnya (1949):
“Di antara yang sangat menyayangkan adalah yang umum terjadi bahwa aku -ketika para ahli bahasa berkumpul dan aku berada di antara mereka- tidak memberikan perhatian terhadap suatu makna atau aku menerimanya atau aku melakukan kajian bahasa tanpa ada makna, seolah bahasa itu adalah suara tanpa makna. Bukan hal yang bersifat pribadi saja yang saya tujukan, hanya saja hukum yang seandainya boleh diaplikasikan maka akan menjadi cacat ilusi yang berlawanan antara para pengkaji yang menumpahkan perhatian mereka kepada makna, pada akhirnya mereka tidak mengetahuinya atau mengabaikannya. Tidak ada perbedaan yang mutakhir yang saya ketahui.” 

Masa ketiga, pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan kemunculan karya filolog Swedia yakni Gustaf Stern, berjudul ‘Meaning and Change of Meaning, with Special Reference to The English Language’ (1931. Dalam kajian itu, Stern melakukan kajian makna secara empiris dengan bertolak dari suatu bahasa yakni bahasa Inggris. 
Salah satu yang memberikan perhatian terhadap kajian ini adalah Odgen dan Richard dengan karyanya yang berjudul the Meaning of Meaning yang membahas sebuah makna secara komplit.

Sebuah bentuk konkret dari perhatian ulama Arab, kajian ilmu ad-Dilalah sudah ada sejak zaman sahabat, meskipun masih sangat umum. Tidak hanya dari kalangan lughawiyyin saja, akan tetapi juga muncul dari kalangan ushuliyyin, falasifah, dan balaghiyyin. Perhatian mereka ini, salah satunya dipicu oleh semangat memelihara dan memurnikan al-Quran dari segala bentuk kesalaha (lahn) dan perubahan (inhiraf).

Akhir-akhir tahun 50-an muncul sebagian penulis Amerika yang memberikan sedikit celah kepada semantic, sebagaimana yang ditulis oleh Ch. F. Hockett (1958), A. A. Hill (1958), H. A. Gleason (1961), dan R. A. Hall (1964). Namun belum adanya pertolongan yang sempurna kecuali setelah munculnya perhatian generative terhadap linguistik yang terjadi kerusakan serta adanya aktivitas yang berseberangan dengan pengikut pemikiran Bloomfield. 

Adapun para penulis yang berasal dari Eropa muncul beberapa nama yang terkenal:
1. S. Ullman yang memperkaya perpustakaan bahasa dengan kitab-kitabnya dalam bidang semantik, di antaranya:
a. Dasar-dasar Semantik (berbahasa Inggris)
b. Semantik (berbahasa Inggris)
c. Makna dan Ushlub (berbahasa Inggris)
d. Peran kata dalam bahasa (diterjemahkan ke dalam bahasa Arab), diterjemahkan oleh Dr. Kamal Basyar, pengajar di Fakultas Darul Ulum Universitas Cairo.

2. John Lyons yang memunculkan beberapa kita dalam bidang linguistik, di antaranya:
a. Semantik Eksperimen (1964)
b. Semantik (1977). 

Kitab yang terakhir merupakan kitab yang terpenting dalam semantik hingga hari ini. Kitab yang besar dan lengkap yang terdiri dari dua juz dmencapai 900 halaman. Lyons telah mengoreksi ulang ktabnya dengan menetapkan istilah-istilah yang tampak ragu atau digunakan oleh sebagian orang kelihatannya cocok. Terakhir dengan pembahasan yang mendalam, padat dan rinci, diperkaya dengan contoh-contoh, serta memberikan komentar pada setiap ide dengan penjelasan dalam bentuk yang singkat dan beragam.
Adapun di antara para pengarang Arab yang terkenal ialah Dr. Ibrahim Anis (pengajar linguistik di Universitas Cairo). Kitabnya yang terkenal dengan judul Dilalah al-Alfazh. Kitab ini diterbitkan pertama kali tahun 1958 kemudian telah diterbitkan di berbagai penerbit lainnya. 

Usaha para linguis Arab dalam mengkaji masalah makna atau semantik sudah dimulai sejak abad kedua hijriyah, dengan disusunnya sebuah kamus oleh al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 190 H) yang diberi nama kitab al-Ain, sesuai dengan kata pertama dari urutan isinya yang disusun berdasarkan urutan makhraj bunyi mulai dari halq (tenggorokan) sampai ke bibir.

Dalam kajian makna (semantk) bahasa Arab, dikenal tiga metode kajian, yaitu:
1. Metode historik atau diachronic, yaitu suatu metode kajian yang meneliti arti kata-kata bahasa Arab, bagaimana kedudukan bahasa Arab di wilayah lain yang bahasanya terpengaruh oleh bahasa Arab.
2. Metode deskriptif atau synchronik, yaitu metode kajian yang meneliti makna kata-kata bahas Arab pada kurun waktu dan tempo tertentu.
3. Metode komparatif, yaitu metode kajian yang megadakan penelitian kajian makna kata-kata bahasa Arab dengan membandingkan dengan salah satu bahasa yang serumpun, yaitu dengan bahasa Ibrani, bahasa Aramani, bahasa Akadi, bahasa Habsy, dan sebagainya yang termasuk rumpun bahasa Semit. Kajian semantik komparatif ini bias mengambil bentuk kajian mengenai sejarah kata dan asal-usulnya.

Di antara para ahli bahasa Arab yang banyak mengadakan penelitian tentang masalah arti (semantik) dan menarik perhatian penulis adalah Mahmud ibn Umar bin Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari (467-538 H/1074-1144 M) yang lebih dikenal dengan sebutan al-Zamakhsyari. 

Al-Zamkhsyarī adalah orang Persia, seorang teolog dan ahli filologis sebagaimana tertulis dalam Tafsîr al-Kasysyaf, nama lengkap al-Zamakhsyarī adalah ‘Abd al-Qāsim Mahmūd ibn Muhammad ibn ‘Umar al-Khāwarizmī al-Zamakhsyarī,  atau Mahmūd ibn ‘Umar ibn Muhammad Ibn ‘Umar.  Tetapi ada juga yang menulis Muhammad Ibn ‘Umar Ibn Muhammad al-Khâwarizmî al-Zamakhsyarī.  Namun, dalam faktanya, beliau lebih dikenal dengan nama al-Zamakhzyarī, karena dinisbatkan kepada kota kelahirannya. Gelarnya adalah “Jâr Allah” (tetangga yang paling dekat dengan Allah) diperoleh karena berdiam beberapa lama di Makkah.  Beliau juga digelari dengan “Tāj Islām” (mahkota Islam) dan merupakan kebanggaan bangsa Khāwarizm.

Ia dilahirkan di Zamakhsyar, sebuah kota kecil di Khāwarizmī pada hari Rabu 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M, dari sebuah keluarga miskin, tetapi alim dan taat beragama. Ayahnya bernama ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Umar yang berkebangsaan Khawarizm (Turkistan), seorang ayah yang sangat memperhatikan pendidikan dan masa depan anaknya.  Dilihat dari masa tersebut, beliau lahir pada masa pemerintahan Sultan Jalāl al-Dīn Abī al-Fath Mālik Syāh (1072-1092 M) dengan wazirnya Nizhām al-Mulk, dimana Wazir ini terkenal sebagai orang yang aktif dalam pengembangan dan kegiatan keilmuan. Dia mempunyai ‘kelompok diskusi’ yang terkenal maju dan selalu penuh dihadiri para ilmuan dari berbagai kalangan. 

PENUTUP
Sejarah semantik dalam kajian linguistik yaitu, sejarah semantik atau makna telah digunakan oleh Aristoteles sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM. Ia adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah ‘makna’ lewat batasan pengertian kata yang menurut Aristoteles adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Bahkan Plato pada masa 429-347 SM dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu.

Pada tahun 1825, seorang berkebangsaan Jerman, C. Chr. Reiseg mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurutnya meliputi tiga unsure, yaitu:
1. Semasiologi yaitu ilmu tentang tanda,
2. Sintaksis yaitu studi tentang kalimat,
3. Etimologi yaitu studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna.

Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai dengan kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan Prancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles de Language.”

Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan munculnya karya filolog Swedia, yakni Gustaf Stern berjudul “Meaning and Change of Meaning, with special Reference to the English Language (1931).

Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jawena telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Saussure.

Setelah penulis memaparkan panjang lebar hal-hal yang berklaitan dengan sejarah ilmu ad-Dilalah (semantik) ini, penulis mengharapkan kritik dan masukan dari segenap pembaca dan pemerhati makalah ini. Selain itu penulis juga menyarankan agar pembaca mengkaji ulang hal yang berkaitan dengan tema ini dalam berbagai sumber yang ilmiah.

Penulis: Pausil Abu Qie
BP: 088142085
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang 2014

================================================================
Note:
Pembaca yang budiman,
Bagi siapa yang ingin tulisan atau karya di ekspost di Suara Edukasi silahkan hubungi admin melalui:
Email: pausil.ws@gmail.com
HP/WA: 0853 6516 9414 / 0822 8823 9185

Info selengkapnya lihat di sini...

1 comment:
Write comments

Recommended Posts × +